Rabu, 29 Agustus 2007

”MAMNU Tadkhin”. Dilarang merokok. Tulisan itu terpampang di setiap tempat strategis di Mekah dan Madinah. Di sepanjang jalan-jalan protokol, di pusat perbelanjaan. Juga di sekitar masjid, baik Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi. Bahkan di seberang selatan Masjid Nabawi, berdiri tegak baliho terbuat dari logam. Bertuliskan ayat Alquran, S.al Baqarah : 195, yang artinya, ”Dan jangan kalian membinasakan diri sendiri”. Dilengkapi gambar jantung manusia dililit rokok berasap.

Selain tulisan peringatan ”Mamnu Tadkhin” dan visualisasi bahaya rokok dilengkapi dalil kitab suci, petugas keamanan pun aktif melakukan pengawasan. Ketika larangan merokok tersebut baru diberlakukan sekitar tahun 2000, dan belum efektif karena dianggap masa transisi, para petugas keamanan, baik ”baladiyah” (semacam Satpol PP), maupun ”askar” (tentara), selalu menegur keras orang yang kepergok merokok dengan ucapan ”Haram! Haram!”

Haram! Itulah hukum yang diterapkan pemerintah Kerajaan Saudi Arabia kepada rokok dan merokok. Bukan lagi makruh (larangan tidak keras), sebagaimana pada aturan fiqh yang berlaku secara umum di negara-negara lain. Termasuk Indonesia.

Jadi apabila coba-coba melanggar, hukumannya cukup berat. Kepada para perokok, dan juga orang-orang yang mengedarkan rokok, dikenakan denda. Bahkan tak mustahil hukuman badan berupa kurungan di penjara.

Para ulama Kerajaan Saudi Arabia, sejak dulu memang sudah memasukkan rokok ke dalam kategori haram. Hal itu berdasarkan fatwa Ibnu Taimiyah, seorang ulama reformis abad 13, yang dipertegas oleh Syekh Abdul Wahab, pendiri aliran ”Wahabi” abad 19, yang menjadi anutan pemerintah dan rakyat Saudi Arabia hingga sekarang. Dengan adanya fatwa haram terhadap rokok, berarti orang yang mengerjakan (perokok) berdosa, dan yang meninggalkannya berpahala.

Di kalangan ulama fiqh- terutama yang menganut mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali) soal rokok kadang-kadang masih menjadi masalah. Ada yang menganggap mubah (boleh-boleh saja, jika dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa, jika ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa), tapi ada juga yang menganggap makruh (jika dilanggar tidak berdosa, jika ditinggalkan berpahala), sehingga banyak kiai dan santri perokok berat. Karena merokok, jika tidak mubah, ya makruh.

Tapi larangan keras dan tegas itu, tampaknya hanya berlaku di dua kota suci, Mekah dan Madinah. Di kota-kota Saudi Arabia lainnya, orang bebas saja merokok. Apalagi di Jeddah yang merupakan kota internasional. Tak heran jika muncul pameo,”jika ingin ibadah pergilah ke Mekah dan Madinah, jika ingin merokok pergilah ke Jeddah.”

Sebagai kota perdagangan, yang terbuka bagi berbagai bangsa dan agama (Mekah dan Madinah terlarang bagi non-Muslim), Jeddah benar-benar ”surga” bagi para perokok. Seorang jamaah umroh asal Jawa Barat, yang dua hari tinggal di Madinah, dan lima hari di Mekah, tampak kegirangan ketika tiba di Jeddah sebelum pulang ke tanah air.

”Di sini saya leluasa mengumbar kegemaran saya,” ia berkata sambil mengeluarkan bungkus rokok kretek, begitu duduk di bangku pertokoan ”Balad”. Selama di Mekah dan Madinah, rokok bawaan dari kampungnya, tersimpan rapat dalam kopor. Kepulan asap pun segera membumbung ke angkasa. Berpadu dengan asap-asap berbagai jenis rokok lain, yang sama-sama diisap para perokok lainnya. Suasana kuda leupas ti gedogan tampak di wajah-wajah para perokok itu.

Seorang ”askar” Masjidil Haram yang sempat ditanya mengenai larangan merokok di Mekah, apakah berkaitan dengan status Mekah sebagai kota suci, atau karena rokok membahayakan kesehatan?

”Kedua-duanya,”jawab ”askar” yang bertugas di dekat istana raja tersebut. Ketika ditanya, mengapa di Jeddah, diperbolehkan, ia menjawab sambil tersenyum la a’lam (saya tidak tahu).

Terlepas dari ”kerancuan” larangan merokok, yang seolah-olah hanya berlaku di Mekah dan Madinah, ketiadaan orang merokok di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, sungguh menyenangkan. Terutama bagi orang-orang bukan perokok. Tak ada tercium bau sengak nikotin. Tak ada kepulan asap yang mengganggu pernapasan. Tak ada bahaya yang mengancam kesehatan jantung dan paru-paru. Sebab tidak merokok pun, apabila berdekatan dengan orang-orang yang merokok, sama-sama mendapat bahaya melalui kepulan asap di udara. Asap rokok mengandung nikotin itu, menurut para pakar kesehatan, juga berperan sebagai medium untuk menyebarkan bibit penyakit menular.

Kebiasaan merokok di kalangan orang Indonesia, telah menelan korban nyata di Mekah dan Madinah. Bukan korban jiwa. Melainkan korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Tak ada lagi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terpakai di projek-projek besar Kerajaan Saudi Arabia. Semuanya sudah digantikan oleh tenaga-tenaga kerja dari Bangladesh, Pakistan, Nigeria atau Mesir.

”Para TKI rata-rata doyan merokok. Baru setengah jam bekerja, minta istirahat. Ternyata ngumpet di belakang, untuk mengisap rokok,” kata seorang pekerja asal Bangladesh yang menjadi buruh kasar di projek pembangunan hotel bertaraf internasional di seberang selatan Masjidil Haram. Padahal projek-projek semacam itu, hampir selalu ada di Saudi Arabia. Termasuk proyek pemugaran lokasi ”Jamarat” di Mina, yang mempekerjakan ribuan orang buruh kasar dari berbagai negara, kecuali Indonesia. Pasalnya, hanya karena rokok saja.***

Penulis, wartawan senior

Sumber: Pikiran Rakyat.

Tidak ada komentar: